kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45932,92   5,28   0.57%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Maskapai tengah gundah, memenuhi hasrat bisnis atau kepentingan publik


Senin, 01 Juli 2019 / 19:05 WIB
Maskapai tengah gundah, memenuhi hasrat bisnis atau kepentingan publik


Reporter: Harry Muthahhari | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai jurus agar harga tiket pesawat tetap terjangkau oleh masyarakat, khususnya untuk maskapai bertarif murah atau low cost carrier (LCC).

Maklum, penerbangan yang berfungsi sebagai salah satu moda transportasi publik, punya peran penting untuk memenuhi kebutuhan manusia. Apalagi mengingat posisi geografis Indonesia, konektivitas transportasi jadi faktor penting bagi ekonomi, pariwisata, hingga pendidikan.

Tentu kita tahu sebagian masyarakat memerlukan pesawat untuk keperluan kerja. Sebagian lagi menggunakan pesawat untuk merantau menempuh pendidikan tinggi. Apalagi sektor pariwisata, kunjungan turis ke Bali, misalnya, tak akan masif tanpa adanya pesawat. Bahkan, pesawat juga jadi opsi bagi masyarakat yang ingin sekedar silaturahmi menemui keluarga.

Nah, di antara rupa-rupa kepentingan itu, maskapai selaku perusahaan juga punya kepentingan sendiri, yakni bisnis pada umumnya yang ujung-ujungnya adalah mencari laba.

Senin (24/6) lalu, Kontan mendatangi salah satu kantor maskapai di Indonesia untuk menemui salah satu direkturnya. Sementara ini, yang berkenan belum mau diungkapkan identitasnya. Dalam situasi santai, kepada Kontan dia bercerita bahwa kenaikan tarif maskapai saat ini akibat persaingan bisnis antar maskapai yang dimulai sejak tahun 2001 lalu.

Katanya, pada tahun tersebut industri penerbangan Amerika Serikat mengalami penurunan permintaan. Salah satu di antara berbagai sebabnya adalah serangan teror 11 September 2001.

Momen itu mengakibatkan banyak perusahaan pesawat Amerika Serikat tidak mengoperasikan pesawatnya. Daripada pesawat menganggur, maka lebih baik pesawat-pesawat itu disewakan dengan biaya sewa operasi (operational lease) yang murah. Maskapai Indonesia menjadi salah satu negara yang menampung pesawat-pesawat nganggur itu.

Karena biaya sewa yang murah, jelas sumber, maka maskapai juga berani memasang tarif murah. Maka sejak saat itulah momen promo tiket dimulai. Tak heran setelah itu industri maskapai juga mengalami persaingan yang ketat. Dua perusahaan bahkan berdiri di era tersebut yakni Adam Air dan Batavia Air.

Penuhnya aktivitas pesawat menyebabkan pelayanan juga menjadi terkendala karena infrastruktur penerbangan saat itu belum memadai. "Istilah pesawat delay jadi hal biasa pada saat itu," katanya.

Momen itu berlangsung sampai tahun 2006. Di tahun 2006, maskapai Indonesia mulai ekspansi dengan menyewa pesawat baru. Karena masih baru, kendati biaya sewanya mahal, tetapi biaya maintenance-nya justru murah. Oleh sebab itu, maskapai masih punya nafas panjang untuk menetapkan tarif murah setidaknya sampai 10 tahun ke depan.

Dari berbagai proses seleksi bisnis yang terjadi sejak 2001, akhirnya terisa empat perusahaan maskapai yang dikenal sekarang yakni Grup Garuda Indonesia, Lion Air, AirAsia Indonesia, dan Grup Sriwijaya Air.

Adapun Sriwijaya Air kini juga sudah menjadi bagian dari Garuda Indonesia setelah melakukan kerja sama operasi (KSO). Sisanya seperti Adam Air, Batavia Air, hingga BUMN Merpati Airlines, tenggelam tak mampu bersaing.

Sepuluh tahun setelah tahun 2006, yakni tahun 2016, merupakan tahun terakhir bagi maskapai untuk bermain di tarif promo. Tahun-tahun kemudian, maskapai hanya sekedar menarik napas dalam-dalam saja karena menaikkan tarif tiket, masih di luar pertimbangan.

Sebagai gambaran, Garuda Indonesia sebagai perusahaan terbuka yang laporan keuangannya bisa diakses mencatat, tahun 2015 perusahaan pelat merah itu masih mencatat laba bersih US$ 70,02 juta. Tahun berikutnya, laba bersih perusahaan itu merosot ke US$ 8,07 juta.

Masuk ke 2017, laporan keuangan Garuda Indonesia mencatat rugi sebesar US$ 216,58 juta. Rugi yang dalam itu tentu bukan yang diharapkan oleh perusahaan. Agar kembali untung, Garuda Indonesia musti mencari jalan lain.

Di akhir 2018, ketika Ari Askhara ditunjuk oleh Kementerian BUMN untuk menjadi Direktur Utama Garuda Indonesia, merupakan momen segar bagi industri penerbangan. Pasalnya, di bawah manajemen Ari, Garuda Indonesia memutuskan menaikkan tarif tiketnya.

Kenaikan ini diikuti oleh maskapai lainnya seperti Grup Lion Air. Berbagai upaya lain misalnya dengan menetapkan tarif bagasi juga dilakukan oleh maskapai berbiaya rendah seperti Lion Air dan Citilink. Hanya AirAsia Indonesia yang masih konsisten menetapkan biaya murah serta bagasi gratis. Alasannya satu, agar kinerja keuangan berbagai maskapai kembali membaik.

Dengan naiknya tiket Garuda Indonesia sebagai harga patokan industri, tentu saja jadi kesempatan bagi Lion Air untuk menaikkan harga tiket juga, yang penting harganya tetap di bawah Garuda Indonesia. Asal margin keuntungan bisa dipertebal agar keuangan perusahaan tetap sehat. Itulah, menurut sumber, yang menyebabkan harga tiket pesawat menjadi mahal seperti sekarang ini.

Sebab, kenaikan biaya setiap tahunnya juga tidak bisa dihindari. Biaya gaji pegawai selalu ada kenaikan setiap tahun. “Dan ini paling sulit karena tidak mungkin diturunkan. Apalagi memecat pegawai cuma karena alasan efisiensi,” kata sumber Kontan.

Dia menambahkan, agar harga tiket turun, dan masyarakat bisa kembali terbang, seluruh pihak musti bekerja sama. Berbagai komponen biaya kebandaraan misalnya, bisa diturunkan. Passanger service charge, airport tax, misalnya bisa diturunkan oleh Angkasa Pura. Pertamina selaku penyedia avtur, juga mau memotong margin keuntungannya dengan tidak menaikkan atau kalau bisa menurunkan harga avtur. Pemerintah juga bisa memberikan insentif-insentif di bagian perpajakannya.

Soal perpajakan, informasi terakhir, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution telah mengeluaran satu jurus agar maskapai mau menurunkan tarif tiket. Sebelumnya, pada Jumat (21/6) lalu, Menko Darmin melakuka rakor evaluasi tarif batas atas (TBA) bersama Kementerian Perhubungan dan Kementerian BUMN, serta pihak industri penerbangan seperti Garuda Indonesia, Lion Air, dan Angkasa Pura II.

Salah satu hasilnya adalah agar maskapai LCC mau menurunkan tarif, maka pemerintah tengah menyiapkan kebijakan pemberian insentif fiskal untuk jasa persewaan, perawatan, dan perbaikan pesawat udara, jasa persewaan pesawat udara dari luar daerah pabean, dan impor penyerahan atas pesawat udara dan suku cadangnya.

Seberapa besar dampaknya belum diketahui. Yang pasti mulai hari ini (1/7), Darmin ingin seluruh LCC menurunkan tarif tiketnya. Soal seberapa besar penurunannya, hal itu musti dilihat lagi ke depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Strategi Penagihan Kredit / Piutang Macet secara Dini & Terintegrasi serta Aman dari Jerat Hukum

[X]
×